Selasa, 29 November 2016

reportase & wawancara



Pengertian Reportase & Wawancara

REPORTASE
Reportase adalah kegiatan meliput, mengumpulkan fakta-fakta tentang berbagai unsur berita, dari berbagai sumber/ narasumber dan kemudian menuliskannya dalam bentuk berita (produk) jadi.
Reportase adalah kegiatan jurnalistik dalam meliput langsung peristiwa atau kejadian di lapangan. Wartawan mendatangi langsung tempat kejadian atau TKP (Tempat Kejadian Perkara) lalu mengumpilkan fakta dan data seputar peristiwa tersebut.
Dalam meliput peristiwa, penting diperhatikan:
1. Kode Etik Jurnalistik atau Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)
2. Fairness Doctrine (Doktrin kejujuran) yang mengajarkan, mendapatkan berita yang benar lebih penting daripada menjadi wartwan pertama yang menyiarkan atau menuliskannya.
3. Cover both side / news balance, yakni perlakuan adil terhadap semua pihak yang menjadi objek berita, dengan meliput semua atau kedua belah pihak yang terlibat dalam sebuah peristiwa.
4. Cek dan ricek, yakni meneliti kebenaran sebuah fakta atau data beberapa kali sebelum menuliskannya.

Tahapan-tahapan reportase
1. Reportase dasar adalah peliputan berita tahap dasar atau awal. Berita yang dihasilkan dari reportase dasar ini adalah straight news atau berita lugas. ciri berita jenis ini adalah singkat/pendek (2-6 alinea), padat, langsung kepada inti masalahnya, unsure 5W+1H.
2. Reportase madya adalah reportase yang lebih luas daripada sekadar berita lugas. reportase media menghasilkan berita-kisah (news feature).
3. Reportase lanjutan/mendalam, reportase lanjutan menghasilkan berita analisis (news analysis). Contohnya depth reporting/investigative reporting.
Teknik reportase atau teknik peliputan berita merupakan hal mendasar yang perlu dikuasai para jurnalis. Namun, membahas teknik reportase, berarti juga membahas bagaimana cara media bekerja, sebelum mereka memutuskan untuk meliput suatu acara, kegiatan atau peristiwa.
Setiap media memiliki apa yang disebut kriteria kelayakan berita. Selain itu, mereka juga memiliki apa yang disebut kebijakan redaksional (editorial policy). Kriteria kelayakan berita itu bersifat umum (universal), dan tak jauh berbeda antara satu media dengan media yang lain. Sedangkan kebijakan redaksional setiap media bisa berbeda, tergantung visi dan misi atau ideologi yang dianutnya.
Perbedaan visi, misi dan ideologi ini akan berpengaruh pada sudut pandang atau angle peliputan. Dua media yang berbeda bisa mengambil sudut pandang yang berbeda terhadap suatu peristiwa yang sama. Bandingkan, misalnya, cara pandang redaktur harian Kompas dan Republika terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, yang telah memancing kontroversi sengit di sejumlah kalangan belum lama ini.
Terakhir, tentu saja segmen khalayak yang dilayani tiap media juga berbeda-beda. Keinginan media untuk memuaskan kebutuhan segmen khalayak tersebut secara tak langsung juga berarti melakukan seleksi terhadap apa yang layak dan tidak layak diliput. Trans TV, misalnya, memilih khalayak dari kalangan sosial-ekonomi menengah ke atas. Majalah Feminamembidik pasar kaum perempuan berusia menengah ke atas, yang tinggal atau bekerja di perkotaan. Sedangkan Radio Hardrock FM mengejar pasar kaum muda di Jakarta.
Kelayakan Berita
Berikut ini adalah sejumlah kriteria kelayakan berita, yang bersifat umum untuk semua media:
Penting. Suatu peristiwa diliput jika dianggap punya arti penting bagi mayoritas khalayak pembaca, pendengar, atau pemirsa. Tentu saja, media tidak akan rela memberikan spaceatau durasinya untuk materi liputan yang remeh. Kenaikan harga bahan bakar minyak, pemberlakuan undang-undang perpajakan yang baru, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), dan sebagainya, jelas penting karena punya dampak langsung pada kehidupan khalayak.
Aktual. Suatu peristiwa dianggap layak diliput jika baru terjadi. Maka, ada ungkapan tentang berita "hangat," artinya belum lama terjadi dan masih jadi bahan pembicaraan di masyarakat. Kalau peristiwa itu sudah lama terjadi, tentu tak bisa disebut berita "hangat," tetapi lebih pas disebut berita "basi." Namun, pengertian "baru terjadi" di sini bisa berbeda, tergantung jenis medianya. Untuk majalah mingguan, peristiwa yang terjadi minggu lalu masih bisa dikemas dan dimuat. Untuk suratkabar harian, istilah "baru" berarti peristiwa kemarin. Untuk media radio dan televisi, berkat kemajuan teknologi telekomunikasi, makna "baru" adalah beberapa jam sebelumnya atau "seketika" (real time). Contohnya, siaran langsung pertandingan sepakbola Piala Dunia.
Unik. Suatu peristiwa diliput karena punya unsur keunikan, kekhasan, atau tidak biasa. Orang digigit anjing, itu biasa. Tetapi, orang mengigit anjing, itu unik dan luar biasa. Contoh lain: Seorang mahasiswa yang berangkat kuliah setiap hari, itu kejadian rutin dan biasa. Tetapi, jika seorang mahasiswa menembak dosennya, karena bertahun-tahun tidak pernah diluluskan, itu unik dan luar biasa. Di sekitar kita, selalu ada peristiwa yang unik dan tidak biasa.
Asas Kedekatan (proximity). Suatu peristiwa yang terjadi dekat dengan kita (khalayak media), lebih layak diliput ketimbang peristiwa yang terjadi jauh dari kita. Kebakaran yang menimpa sebuah pasar swalayan di Jakarta tentu lebih perlu diberitakan ketimbang peristiwa yang sama tetapi terjadi di Ghana, Afrika. Perlu dijelaskan di sini bahwa "kedekatan" itu tidak harus berarti kedekatan fisik atau kedekatan geografis. Ada juga kedekatan yang bersifat emosional. Agresi Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza, misalnya, secara geografis jauh dari kita, tetapi secara emosional tampaknya cukup dekat bagi khalayak media di Indonesia.
Asas Keterkenalan (prominence). Nama terkenal bisa menjadikan berita. Sejumlah media pada Juni-Juli 2006 ini ramai memberitakan kasus perceraian artis Tamara Bleszynski dan suaminya Teuku Rafli Pasha, serta perebutan hak asuh atas anak antara keduanya. Padahal di Indonesia ada ratusan atau bahkan ribuan pasangan lain, yang bercerai dan terlibat sengketa rumah tangga. Namun, mengapa mereka tidak diliput? Ya, karena sebagai bintang sinetron dan bintang iklan sabun Lux, Tamara adalah figur selebritas terkenal.
Magnitude. Mendengar istilah magnitude, mungkin mengingatkan Anda pada gempa bumi. Benar. Magnitude ini berarti "kekuatan" dari suatu peristiwa. Gempa berkekuatan 6,9 skala Richter pasti jauh lebih besar dampak kerusakannya, dibandingkan gempa berkekuatan 3,1 skala Richter. Dalam konteks peristiwa untuk diliput, sebuah aksi demonstrasi yang dilakukan 10.000 buruh, tentu lebih besarmagnitude-nya ketimbang demonstrasi yang cuma diikuti 100 buruh. Kecelakaan kereta api yang menewaskan 200 orang pasti lebih besar magnitude-nya daripada serempetan antara becak dan angkot, yang hanya membuat penumpang becak menderita lecet-lecet. Semakin besar magnitude-nya, semakin layak peristiwa itu diliput.
Human Interest. Suatu peristiwa yang menyangkut manusia, selalu menarik diliput. Mungkin sudah menjadi bawaan kita untuk selalu ingin tahu tentang orang lain. Apalagi yang melibatkan drama, seperti: penderitaan, kesedihan, kebahagiaan, harapan, perjuangan, dan lain-lain. Topik-topik kemanusiaan semacam ini biasanya disajikan dalam bentuk feature.
Unsur konflik. Konflik, seperti juga berbagai hal lain yang menyangkut hubungan antar-manusia, juga menarik untuk diliput. Ketika ppahlawan sepakbola Perancis, Zinedine Zidane, "menanduk" pemain Italia, Marco Materrazzi, dalam pertandingan final Piala Dunia, Juli 2006 lalu, ini menarik diliput. Mengapa? Ya, karena sangat menonjol unsur konflik dan kontroversinya. Bahkan, kontroversi kasus Zidane ini lebih menarik daripada pertandingan antara kesebelasan Perancis dan Italia itu sendiri.
Trend. Sesuatu yang sedang menjadi trend atau menggejala di kalangan masyarakat, patut mendapat perhatian untuk diliput media. Pengertian trend adalah sesuatu yang diikuti oleh orang banyak, bukan satu-dua orang saja. Misalnya, suatu gaya mode tertentu yang unik, perilaku kekerasan antar warga masyarakat yang sering terjadi, tawuran antarpelajar, dan sebagainya.

WAWANCARA
Wawancara merupakan bentuk reportase  dengan cara mengumpulkan data berupa pendapat, pandangan, dan pengamatan seseorang tentang suatu peristiwa.
Dalam melakukan reportase, reporter harus pintar memilah-milah narasumber yang nantinya akan melengkapi bahan penulisan berita. Narasumber dapat dipilah menjadi narasumber primer dan narasumber sekunder. Narasumber primer merupakan narasumber yang memegang peran penting dalam sebuah peristiwa. Narasumber Sekunder berfungsi untuk melengkapi dan mendukung penulisan berita.
Ketika melakukan wawancara, ada tiga hal yang tidak boleh dilupakan oleh reporter:
a. Identitas dan atribut narasumber
b. Pendapat narasumber terhadap peristiwa
c. Kesan narasumber terhadap peristiwa
Beberapa persiapan yang dilakukan reporter agar wawancara berjalan lancar dan efektif, antara lain:
a. Menguasai tema yang akan ditanyakan kepada narasumber. Jika pengetahuan reporter tentang tema sedikit, maka akan timbul banyak kesulitan saat melakukan wawancara.
b. Siapkan TOR (Term of Reference). Ini penting agar tidak ada permasalahan yang luput ditanyakan kepada narasumber.
c. Membawa alat perekam. Selain berfungsi untuk memudahkan reporter menulis hasil wawancara, alat perekam juga dapat berfungsi sebagai bukti jika sewaktu-waktu narasumber mengelak dan protes terhadap berita yang ditulis.
d. Menghargai narasumber dan membuat janji. Membuat janji dengan narasumber itu penting. Karena ada beberapa narasumber yang enggan melakukan wawancara langsung tanpa membuat janji. Ingat, menjaga hubungan baik dengan narasumber itu sangat penting untuk kemudian hari. Banyak narasumber yang kecewa dan enggan bertemu repoter tertentu.
Wawancara sangat penting dalam dunia jurnalistik. Wawancara merupakan proses pencarian data berupa pendapat/pandangan/pengamatan seseorang yang akan digunakan sebagai salah satu bahan penulisan karya jurnalistik.

Wawancara vs reportase
Apakah wawancara sama dengan reportase? Jawabnya adalah tidak.
Reportase memiliki ruang lingkup yang jauh lebih luas dari wawancara, sedangkan wawancara adalah salah satu teknik reportase.

Jenis Wawancara
1.
Man in the street interview. Untuk mengetahui pendapat umum masyarakat terhadap isu/persoalan yang akan diangkat jadi bahan berita.
2.
Casual interview. Wawancara mendadak. Jenis wawancara yang dilakukan tanpa persiapan/perencanaan sebelumnya.
3.
Personality interview. Wawancara terhadap figure-figur public terkenal. Atau orang yang memiliki kebiasaan/prestasi/sifat unik, yang menarik untuk diangkat sebagai bahan berita.
4.
News interview. Wawancara untuk memperoleh informasi dari sumber yang mempunyai kredibilitas atau reputasi di bidangnya.


Wawancara yang Baik
Agar tugas wawancara kita dapat berhasil, maka hendaknya diperhatikan hal-hal - antara lain - sebagai berikut:
1.
Lakukanlah persiapan sebelum melakukan wawancara. Persiapan tersebut menyangkut outline wawancara, penguasaan materi wawancara, pengenalan mengenai sifat/karakter/kebiasaan orang yang hendak kita wawancarai, dan sebagainya.
2.
Taatilah peraturan dan norma-norma yang berlaku di tempat pelaksanaan wawancara tersebut. Sopan santun, jenis pakaian yang dikenakan, pengenalan terhadap norma/etika setempat, adalah hal-hal yang juga perlu diperhatikan agar kita dapat beradaptasi dengan lingkungan tempat pelaksanaan wawancara.
3.
Jangan mendebat nara sumber. Tugas seorang pewawancara adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya dari nara sumber, bukan berdiskusi. Jika Anda tidak setuju dengan pendapatnya, biarkan saja. Jangan didebat. Kalaupun harus didebat, sampaikan dengan nada bertanya, alias jangan terkesan membantah.
Contoh yang baik: "Tetapi apakah hal seperti itu tidak berbahaya bagi pertumbuhan iklim demokrasi itu sendiri, Pak?"
Contoh yang lebih baik lagi: "Tetapi menurut Tuan X, hal seperti itu kan berbahaya bagi pertumbuhan iklim demokrasi itu sendiri. Bagaimana pendapat Bapak?"
Contoh yang tidak baik: "Tetapi hal itu kan dapat berbahaya bagi pertumbuhan iklim demokrasi itu sendiri, Pak."
4.
Hindarilah menanyakan sesuatu yang bersifat umum, dan biasakanlah menanyakan hal-hal yang khusus. Hal ini akan sangat membantu untuk memfokuskan jawaban nara sumber.
5.
Ungkapkanlah pertanyaan dengan kalimat yang sesingkat mungkin dan to the point. Selain untuk menghemat waktu, hal ini juga bertujuan agar nara sumber tidak kebingungan mencerna ucapan si pewawancara.
6.
Hindari pengajuan dua pertanyaan dalam satu kali bertanya. Hal ini dapat merugikan kita sendiri, karena nara sumber biasanya cenderung untuk menjawab hanya pertanyaan terakhir yang didengarnya.
7.
Pewawancara hendaknya pintar menyesuaikan diri terhadap berbagai karakter nara sumber. Untuk nara sumber yang pendiam, pewawancara hendaknya dapat melontarkan ungkapan-ungkapan pemancing yang membuat si nara sumber "buka mulut". Sedangkan untuk nara sumber yang doyan ngomong, pewawancara hendaknya bisa mengarahkan pembicaraan agar nara sumber hanya bicara mengenai hal-hal yang berhubungan dengan materi wawancara.
8.
Pewawancara juga hendaknya bisa menjalin hubungan personal dengan nara sumber, dengan cara memanfaatkan waktu luang yang tersedia sebelum dan sesudah wawancara. Kedua belah pihak dapat ngobrol mengenai hal-hal yang bersifat pribadi, atau hal- hal lain yang berguna untuk mengakrabkan diri. Ini akan sangat membantu proses wawancara itu sendiri, dan juga untuk hubungan baik dengan nara sumber di waktu-waktu yang akan datang.
9.
Jika kita mewawancarai seorang tokoh yang memiliki lawan ataupun musuh tertentu, bersikaplah seolah-olah kita memihaknya, walaupun sebenarnya tidak demikian. Seperti kata pepatah, "Jangan bicara tentang kucing di depan seorang pecinta anjing".
10.
Bagi seorang reporter pers yang belum ternama, seperti pers kampus dan sebagainya, kendala terbesar dalam proses wawancara biasanya bukan wawancaranya itu sendiri, melainkan proses untuk menemui nara sumber. Agar kita dapat menemui nara sumber tertentu dengan sukses, diperlukan perjuangan dan kiat-kiat yang kreatif dan tanpa menyerah. Salah satu caranya adalah rajin bertanya kepada orang-orang yang dekat dengan nara sumber. Koreklah informasi sebanyak mungkin mengenai nara sumber tersebut, misalnya nomor teleponnya, alamat villanya, jam berapa saja dia ada di rumah dan di kantor, di mana dia bermain golf, dan sebagainya.



Media Cetak VS Media Elektronik
Bagaimana cara memperoleh/mengumpulkan berita? Caranya adalah melalui reportase, yang bertujuan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin data yang berhubungan dengan karya jurnalistik yang akan dibuat. Pihak yang menjadi objek reportase disebut nara sumber. Nara sumber ini bisa berupa manusia, makhluk hidup selain manusia, alam, ataupun benda-benda mati. Jika nara sumbernya berupa manusia, maka reportase tersebut bernama wawancara.

Dengan demikian, ada sedikit perbedaan antara reportase dengan wawancara. Wawancara merupakan bagian dari reportase, dan reportase tidak hanya dapat dilakukan terhadap manusia.

Namun perlu diingat bahwa wawancara untuk media cetak berbeda dengan wawancara untuk media elektronik. Wawancara untuk media elektronik biasanya dikemas semenarik mungkin. Sebelum wawancara berlangsung, seringkali dilakukan briefing antara pewawancara dan nara sumber, yang bertujuan untuk menjaga kelancaran wawancara. Hal ini dilakukan karena wawancara untuk media elektronik merupa kan "produk" tersendiri yang "dijual" kepada pemirsa/pendengar.
Sedangkan dalam media cetak, yang terpenting bagi pembaca adalah tulisan yang dibuat berdasarkan hasil reportase, sehingga proses wawancara tidaklah penting bagi mereka. Karena itu, wawancara untuk media cetak dapat berlangsung tanpa kemasan yang menarik ataupun briefing antara wartawan dengan nara sumber. Satu-satunya persiapan yang perlu dilakukan adalah persiapan wartawan itu sendiri, yang mencakup bahan wawancara dan pengetahuan umum mengenai materi wawancara. Sedangkan proses wawancaranya dapat berlangsung dalam berbagai situasi dan tempat. Bisa di kantor, di restoran sambil makan siang, lewat telepon, sambil berjalan menuju halaman parkir, sambil ngobrol, dan sebagainya.

Kamis, 03 November 2016

Hasil gambar untuk kopri pmii

Koreksi Gender dan PMII eksakta kekinian

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Gender,,? Apa yang akan kita bayangkan saat kata-kata gender terus-menerus ada dalam fikiran kita termasuk juga sanubari hati yang para jejaka maupun ciwi-ciwi aktivis. Mungkin ketika ditanya tentang permasalahan gender tidak mungkin mau mengalah begitu saja ataupun pemikiran yang membuat saling penguatan atas bibit,bobot,bebetnya dari aktivis adam dan aktivis hawa segitu sepertinya. Lalu apa para yang menjadi tindakan yang harus dan bisa menjadi patokan atas pluralisme keanekaragaman gender disekitar kita termasuk dalm lingkup eksak.

Gender sebuah anggapan yang di terima sebagian besar masyarakat menyebut dengan bentuk penggolongan jantan betina, kromosom x kromosom y, cowok cewek, wilayah sensitif kelamin, dan terusinlah pokoknya yang berbau si ganteng dan si cantik. Namun apakah yang menjadi titik temu antara gender dengan seks,,? Apakah seks itu tentang perkelaminan dan gender itu semua bisa jadi cowok dan semua bisa jadi cewek kayaknya seperti itu (berarti gender kayak spesies hemaprodit punya dua kelamin dan bisa gonti-ganti jadi kelamin apa yang diinginkan). Kemudian apakah semudah itu mengatakan gender dan seks masihkah ada persektif tentang gender.

Kembali membahas tentang gender, lagi-lagi gender mnjadi perdebatan pendapat mengenai pemaknaan gender. Akankah gender sebuah pembicaraan tengan emansipasi wanita yang cetuskan sang srikandi bangsa ibu kita R.A KARTINI, atau seperti gerakan wanita lasmi pada era G30 PKI yang merebutkan hak-hak para buyut-buyut wanita kita terhadap segala penindasannya, atau gerakan kaum sosialita yang katanya kekinian dengan barang pribadi atas kemewahannya. Lantas, bagaimana dengan memaknai gender apakah ketimpangan gender ataukah kesetaraan gender,,? Kemudian akankah, posisi gender sebagai pro golongan feminis ataukah mementingkan golongan maskulin ataukan sebagai penyetara atas keduanya,,?

Secara simple prinsip gender merupakan suatu bentuk kelamin sosial dimana peran gender bukan sebagai pembatas antara sisi cowok dan cewek. Namun, selama ini gender selalu di pandang oleh  masyarakat sebagai perwujudan istilah biologis (seksualitas) sehingga, gender terlihat pembelaan atas eksitensi gerakan wanita atau gerakan perintis pembebasan. Dari situ, sebagai bentuk kesetaraan gender memberikan hak serta kewajiban sebagai pribadi diri gender yang adil dan beradab yang seharusnya dapat memposisikan diri sebagai sederajat namun belum tentu satu tingkat yang sama ketika terjadi suatu permasalahan.

Lantas, apa yang menjadi reaksi kita demi terciptanya pribadi peka gender,,? Apa hanya resapan dan renungan semata dan kemudian hilang tanpa pesan dan tindakan atas kepahaman gender. Maka, perlu adanya penerapan studi kasus kesepahaman mengenai tindakan keetaraan gender. Contoh kasus sederhana semisal ketika kita sholat atau ritual beragama selalu para pria menjadi imam atau sebagai arti pimpinan karna memang, secara fiqh syarat menjadi imam di masjid pria yang diutamakan selama masih ada pria didalamnya. Kemudian, dari pihak wanita pun memiliki beberapa yang secara syari’at ada beberapa hal yang dimana wanita tidak diperbolehkan atas sebab tertentu untuk sholat atau dianjurkan melakukan udzur. Selanjutnya, dari sisi kehati-hatian para ulama’ untuk jangan sampai untuk menimbulkan syahwat yang dapat mengganggu kekhusu’an sholat jika, situasi yang menjadi imam atau yang berada di syaf depan wanita. Begitulah, cara pandang gender yang jangan hanya sebagai tektualitas yang menjadi konsumsi mentah namun cara pandang yang harus berkonstektualitas untuk memahami konteks esensi yang di berikan.

Setelah itu,dengan aktivis eksakta,,bagaimana hubungan antara para mujahid di lingkup eksakta. Eksakta yang di inisialkan sebagai bagian dari lingkup pelajar ataupun mahasiswa yang mempunyai kedisplinan tinggi tentang kajian ilmu yang fakultatif saintis. Eksak merupakan kajian ilmu yang pemahaman ke sumber laboratorium, bilangan, bidang ilmu empirisme bahkan,sulit rasanya memilih dan memilah bagaimana hal sosial di terima dalam lingkup fakultatif. Masih relevankah ketika membicarakan sikap organisatoris dan saintis apalagi membahas tentang gender,kontruksi sosial, kesepahaman kolerasi gender dalam memahami di lingkup gender,,? Apa ini malah justru menjadi penyebab skeptisme dalam sublimasi sosial dan eksakta,?

Apa itu skeptisme,,? Skeptisme adalah kondisi dan situasi deskriminasi bagian dalam berorganisasi baik secara verbal maupun tindakan. Hal ini tentu sangat berhubungan dengan gender eksakta berorganisasi. Permasalahan mulai dari lingkup yang seakan sebuah pilihan antara akademik dengan rasa kedisplinan yang tinggi dimili oleh akademisi atau jiwa para aktivis yang memiliki penunjang kajian politik, sosial,kognisi, leadership dst. Lalu, lagi-lagi membahas tentang skeptisme gender antar sesama bagian komponen, pria dengan yang wanita, vokal sama yang pendiam,aktif atau yang sedikit pasif dsb, harusnya memperoleh hak-hak sama dalam menyampaikan pendapat,terutama dalam bantang bintang tubuh PMII. Inilah menjadi pertanyaan besar dan PR yang harusnya di jadikan proses penyelesaian menciptakan kondisi organisasi tanpa skeptis seperti apa,,?

Sekarang, PMII masihkah merenungi hal sedetail tersebut mengenai gender apalagi bukanlah hanya sebuah kelamin semata. Namun, harus dinilai konstruksi sosial yang diselaraskan dengan pengembangan skill dan penberdayagunaan sumber-sumber citradiri berPMII yang ideal. Dengan hadirnya permasalahan ini, seharusnya membuat formulasi ulang tentang sistem kaderisasi kekinian tanpa mengesampingkan gender yang bukan sekedar mencari stickholders namun menumbuhkan jiwa realisasi aktivis PMII berulul albab atas segenap organ-organ dalam garis struktural maupun kultural sehingga terbentuknya aktivis eksakta kekinian.

Apakah dengan kemajuan zaman serta berPMII yang arah gerakan seakan abstraks terlihat adanya patkriatisme selalu menghantui dalam diri  PMII dengan melihat kondisi kader pria lebih aktif di bandingkan kader wanita. sebelumnya apa patkriatisme,,? Patkriatisme adalah kondisi dimana dalam berorganisasi yang selalu menjadi keunggulan dari kaum pria. Dengan kondisi semacam hal ini, bagaimana posisi KOPRI yang membawahi secara mulai rayon sampai PB struktural kepengurusan PMII yang melayani kader putri yang seharusnya mendapat persamaan persepsi menyuarakan aspirasi serta eksitensi diri sahabati dalam nuansa berbasis keputrian.

Terakhir, jadilah pribadi PMII yang bukan hanya mengenal sebuah tektualitas namun pahami kontektualitas, jadilah gender yang bukan hanya eksistensi namun pahami esensi, jadilah gender bukan hanya secara radikal namun pahami secara plural, dan jadikan gender sebagai tindakan untuk kontribusi bukan untuk ajang mengadili,menghakimi,ataupun berkonspirasi.

Wallahu muafiq ila aqwamith thoriq
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh